Kecerdasan buatan (AI) mendorong amplop, menyebabkan kegemparan di dunia seni, khususnya ketika menyangkut masalah kreativitas dan hak cipta. Insiden baru-baru ini yang melibatkan penggunaan AI untuk "menyelesaikan" Keith Haring's Unfinished Painting (1989), sebuah karya yang sengaja dibiarkan kosong untuk melambangkan kekosongan yang disebabkan oleh epidemi HIV, telah memicu reaksi. Interpretasi AI dari lukisan ini telah menghidupkan kembali perdebatan yang sedang berlangsung di persimpangan AI dan hak cipta.
Kegemparan dimulai ketika AI generatif digunakan oleh pengguna pada platform populer untuk mengisi ruang kosong Haring's Unfinished Painting. Postingan itu menimbulkan badai, dengan banyak yang menyuarakan kemarahan mereka atas dugaan pelanggaran niat awal Haring. Tindakan menggunakan AI untuk ikut campur dengan karya seni yang memiliki signifikansi emosional dan historis yang mendalam telah menyentuh saraf di dalam dan di luar komunitas seni. Sementara beberapa komentator percaya bahwa postingan tersebut dirancang untuk memicu reaksi dan meningkatkan keterlibatan, yang lain melihatnya sebagai eksplorasi asli potensi kreatif AI.
Insiden ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari percakapan yang lebih besar seputar AI dan masalah hak cipta. Pada Desember 2023, seniman papan cerita Jon Lam mengungkap spreadsheet Google yang diduga mencantumkan ribuan artis yang gayanya digunakan tanpa persetujuan untuk melatih algoritme AI. Daftar ini mencakup tokoh-tokoh terkenal seperti David Hockney, Tracey Emin, Yoko Ono, Yayoi Kusama, dan bahkan Keith Haring sendiri. Pengungkapan ini telah mendorong gelombang tuntutan hukum dari seniman yang menuduh perusahaan AI melanggar hak kekayaan intelektual mereka.
Di tengah tuntutan hukum ini, OpenAI, organisasi yang bertanggung jawab untuk mengembangkan model AI seperti ChatGPT dan DALL-E, membela tindakannya. Mereka berpendapat bahwa dimasukkannya materi berhak cipta sangat penting untuk kemajuan AI, karena kemampuannya untuk belajar dan menghasilkan konten baru bergantung pada analisis dan pemahaman karya yang ada. Namun, argumen ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi eksploitasi kreasi seniman tanpa persetujuan mereka.
Persimpangan AI dan hak cipta menghadirkan masalah kompleks tentang kepengarangan, kepemilikan, dan implikasi etis menggunakan AI untuk mereplikasi atau mengubah karya seni yang ada. AI tidak diragukan lagi telah merevolusi berbagai sektor, termasuk seni, namun dampaknya terhadap ekspresi kreatif dan hak-hak seniman tetap menjadi topik yang diperdebatkan dengan hangat. Gesekan antara inovasi dan mempertahankan integritas artistik menyoroti perlunya diskusi berkelanjutan dan pedoman transparan mengenai peran AI dalam seni.
Seiring kemajuan teknologi, batas antara seni yang dihasilkan manusia dan mesin menjadi semakin kabur. Seniman, pakar hukum, dan pengembang AI perlu berkolaborasi untuk menciptakan kerangka kerja yang menghormati hak-hak pembuat konten sambil merangkul kemungkinan AI. Menemukan keseimbangan yang tepat antara inovasi dan pertimbangan etis akan sangat penting dalam membentuk masa depan seni yang dihasilkan AI.
Kontroversi seputar versi lengkap AI dari Unfinished Painting karya Keith Haring adalah pengingat nyata dari perdebatan yang sedang berlangsung seputar AI, hak cipta, dan batas-batas kreativitas. Masalah ini menggarisbawahi perlunya diskusi yang bijaksana dan pedoman yang jelas di persimpangan AI dan seni. Dengan evolusi teknologi tanpa henti, seniman dan inovator perlu berkolaborasi untuk memastikan masa depan AI dalam seni menghormati dan melindungi hak dan niat pencipta.