Pemilihan presiden Iran telah memasuki tahap putaran kedua antara kandidat reformis dan konservatif garis keras. Putaran awal pemungutan suara mengumpulkan jumlah pemilih terendah yang pernah ada dalam sejarah negara itu, dengan lebih dari 60% pemilih abstain. Kurangnya partisipasi ini menggarisbawahi kekecewaan dan frustrasi yang meluas di kalangan publik Iran, yang telah bergulat dengan kesulitan ekonomi dan protes massa di bawah teokrasi Syiah negara itu.
Reformis vs Konservatif Garis Keras: Pertempuran Ideologi
Kandidat reformis, Masoud Pezeshkian, mengadvokasi penjangkauan yang lebih besar kepada masyarakat internasional sebagai solusi potensial untuk kesengsaraan ekonomi Iran. Sebaliknya, konservatif garis keras, Saeed Jalili, mantan negosiator nuklir, terkenal karena pandangan anti-Baratnya. Hasil awal mengungkapkan Pezeshkian dengan 10,4 juta suara, sementara Jalili sedikit tertinggal dengan 9,4 juta suara.
Limpasan yang Akan Datang: Titik Kritis bagi Iran
Pemilihan putaran kedua, yang ditetapkan pada 5 Juli, menghadirkan titik balik penting bagi Iran. Hasilnya tidak hanya akan mempengaruhi masa depan bangsa tetapi juga memberikan wawasan tentang keadaan rezim saat ini dan legitimasinya. Jumlah pemilih yang rendah dan kekecewaan yang berlaku dengan proses politik menandakan ketidakpuasan yang mendalam di antara penduduk Iran.
Kontroversi Pemilu Iran
Para kritikus berpendapat bahwa pemilihan Iran tidak memiliki transparansi dan keadilan, dengan pilihan terbatas dan tidak ada pengawasan dari pemantau yang diakui secara internasional. Jumlah pemilih yang rendah dan pembatalan lebih dari 1 juta suara dipandang sebagai penolakan terhadap kandidat dan sistem itu sendiri. Bagi banyak orang Iran, pemilu itu tampaknya tidak lebih dari lelucon di sebuah negara di bawah pemerintahan diktator.
Ketidakpastian Membayangi Setelah Kematian Presiden Sebelumnya
Kematian mantan presiden, Ebrahim Raisi, dalam kecelakaan helikopter menambah lapisan ketidakpastian lain dalam pemilihan. Raisi dianggap sebagai penerus potensial pemimpin tertinggi negara itu, Ayatollah Ali Khamenei, yang memegang kekuasaan besar di Iran. Pertanyaan tentang siapa yang mungkin menggantikan Khamenei sekarang menjadi lebih samar-samar.
Analis Memprediksi Tidak Ada Perubahan Signifikan
Meskipun pemilihan putaran kedua akan datang, analis tidak memperkirakan adanya perubahan signifikan yang dihasilkan dari pemungutan suara ini. Para kandidat belum mengusulkan kebijakan yang akan menangani isu-isu kontroversial, seperti aturan berpakaian Islami yang ketat untuk wanita. Akibatnya, hasil pemilu tidak mungkin memicu reformasi yang berarti atau memenuhi tuntutan publik Iran.
Krisis Legitimasi dan Arah
Pemilihan presiden di Iran mencerminkan kekecewaan dan frustrasi yang mendalam di antara rakyat Iran. Rendahnya jumlah pemilih dan penolakan terhadap para kandidat dan sistem menggarisbawahi kurangnya kepercayaan pada rezim saat ini. Hasil pemilu tidak mungkin menyebabkan perubahan signifikan, menimbulkan pertanyaan penting tentang legitimasi pemerintah Iran dan lintasan masa depan negara itu.